Sajak-Sajak 2020–2021

Fajar N
4 min readJan 4, 2022

--

Kumpulan sajak-sajak yang berhasil saya selamatkan dari keterceceran

Colours of the Ocean (ArtZolo)

SURAT KEPADA MASA LALU

Biarkan Olenka –

berlari mengejar matahari.

Aku akan di sini

memahat batu merapi.

Tapak tangan berdarah-darah

Mengepal duri tanpa pucuk mawar.

Lalu kau memilih belajar — tentang kita

dari anjing-anjing mati.

Kenapa kau membalas ungu dengan debu

melempar hitam dengan kayu

sedangkan putih tenggelam –

dibakar cemburu. Warna-warna itu –

hanya abu pada dongeng masa lalu.

Sampaikan surat ini pada raksasa

di kaki Gunung Fuji. Sampaikan kisah ini

pada patung Lenin yang menatap ngeri,

pada kaki pemuda-pemudi Kiev –

yang menginjaki berhala ilusi.

Sampai sini — seharusnya kau percaya

hati kita tak sekhayal Latta dan Uzza.

(Bandung, 2019)

PANTAI, SORE ITU

Sisa asap, air talang, dan gelap awan –

Merekatkan resah seorang muda

Tatal-tatal nasib, hanyut –

Pada hujan berbau amis

Dan hidup memaki gerimis

Telah dituliskan kisahnya, pada batu

Pucat gompal, huruf abu-abu –

Garis tangan dipahat dan ia berkata:

aku mencair bersama esok dan hari tua”.

Tulang daun mengular –

Ingatkan ia pada kepal bayi yang gemetar

Dahan nyiur gamam — ia putuskan turun

berjalan renyap dengan hati sembap

aku dan ketam sama-sama kalah

Ia pulang menggali lubang.

(Pangandaran, 2020)

Pagi, di Pesisir Pangandaran

Detik jam dan harum cengkeh

Rambutmu tergerai // di ujung dipan

Waktu memuai lambat-lambat

Pada punggungmu nasib — kutuliskan.

Lalu basah, arang, dan patah tulang.

Pagi berteriak penuh riak — di ufuk

Kita habiskan raga pada ragu

Meludahi genang lautan bulu

Katamu pada karang — sejak bila,

Kau berlubang?

(Bogor 2021)

Malam yang Riuh Namun Sunyi

Pada sebuah hening dan tetes embun,

Dalam segenggam penantian dan perhatian.

Setan lari tunggang langgang,

Bocah berlarian mendadak diam,

dan suara jangkrik ditelan sengguk isakan.

Sang Kekasih yang menghadirkan diri,

Lewat miliaran sayap-sayap bening yang menyesakan bumi,

Menyapu setiap butir pasir di laut,

menghapus setiap bintang di langit

Malam yang riuh namun sunyi

Heningnya dipecah do’a-do’a,

Licin dan asin tempat keningnya,

keringat tercampur dengan air mata,

Pada malam yang Mulia,

Membakar habis dosa-dosa.

(Bogor / 27 Ramadhan 2020)

BAGINDA

(1)

Pada malam terang bulan // akan kujumpai jejakmu

Wajah kemerahan yang teduh dipandang // namun sinarmu

bukanlah kilatan pedang // Engkau purnama

Yang membuat bulan meredup malu.

(2)

Telah ku tumpahkan isi retina dan serak suara

Patah-patah sengal ku memanggil

Pada kebun anggur tempat kau berdo’a

Setelah benci angkara menjelma batu

Engkau memaafkan // balas mendo’akan

Malaikat tercekat haru // murka berbalas cinta

Andai aku Addas // habis ku seka darah di betismu

(3)

Langit hening menyambut // pada gurun pasir berkabut

Ketika engkau tertutup selimut // lantas bangun dengan takut

Ingin ku menjelma pelepah kurma dan kain tua // ingin ku

terbangkan peluh-peluh pelipismu // biarlah diri ini

berubah terompah // asal sosokmu dapat ku papah //

Injaklah daku Tuan

(4)

Aku menangis // sebab rindu tak terganti

oleh tetes gerimis yang membakar genang //

oleh mentari yang menghujani ladang // rindu,

Tuanku, menyesakkan // mata yang tak dapat balas tatap

Memandangmu // akan ku himpun angin malam

Menggantikan berbaris do’a // untuk sebuah harap

Untuk sebuah nanti.

(5)

Lantas terbanglah sajak ini // menuju awan yang menaungimu

Pada pohon tempatmu berteduh // pada sarang laba-laba itu

yang menyembunyikanmu // pada kucing Abisinia tidur di jubahmu

menuju pasir-pasir yang kau injak // menuju genang sumur yang kau sesap

pada suara menggema // dengung-dengung

lonceng wahu.

(6)

Telah habis ucap do’a // kering kerontang rangkai kata

Sulit terungkap inti rasa // oleh hamba yang alfa

Yang berharap pada cinta // lambaian tanganmu Baginda

di telaga // semoga kita berjumpa.

(Bogor, 12 Rabiul Awal 1443 H)

Prohibido

Minyak tanah dan bau darah

Wanita subuh // langit-langit

lazuardi berubah mendung

kembang kol tersibak

menonjolkan butir sentra

Alis hitam luntur // peluh di bawah guntur

Ketika gerimis sedikit berbau amis

Engkau tersenyum pada nada-nada tinggi

Simfoni yang lenyap seiring // petrikor

asing tercium.

Malam itu lupakan segera

Ujung gorden yang hangus

Terbakar // dan bekas cakar.

(Jatinangor 2020)

Sisa Hujan

Aku mencarimu semalaman

Pada lapisan tanah terguyur basah

Ketika nafasmu terengah

Berlari-lari anjing, dan dadamu

Berhenti membusung.

Hanya tersisa pagi

di atas tumpahan kopi

Ayat-ayat suci tak juga mematri

dirimu yang tajalli

kemana ku adukan kerinduan?

ketika tak ada bayang yang dikejar.

(Bogor 2020)

PERCAKAPAN

Kita ini apa?

Semacam hasrat atau obsesi,

atau keduanya?

Hentikan ocehmu // kau tak beroceh

Kau tak teroceh

Kau hanya bagian dari lumbung tua

Semua padi yang mati sebab wabah

begitupun aku.

Kau bisa jadi guling pada malam seorang gadis

Kau bisa jadi cincin pada jari manis

Kau bisa jadi tinta pada surat cinta

Bisa jadi // namun khayal.

Kita ini serupa fana’ pada bibir pria itu

Hanya sebuah rangkaian gerbong

Yang amblas pada kerongkongan kering

Andai ia tak gentar dan siap terluka

Bisa jadi kita lahir // mewujud suara

yang tak pernah menarik

tapi di sinilah kita // ngopi

di kuburan kata — kata

yang gagal terucap

dalam dada // yang ditindas dunia.

2021

Di Jembatan Nihonbashi

Denting pedang bertaut

Seperti nasib — menghalau maut

Pada harap // pada janji

Susu tak terasa madu

atau lebah –

terbakar sarangnya.

Di jembatan itu

Mengalir harapan

Pada nilakandi arusnya –

Menghantar kelopak sakura.

Pergi tak bertepi

Riak suara tak mampu

menyentuh saujana.

Terbatasnya kita –

gegabahnya cinta

dasar pecandu” — katamu

Malam itu siapa yang tersihir?

Egomu yang membatu — atau

aku yang mematung kelu.

(2020)

Pujangga Pengecut

Ketika ku temukan dirimu

di stasiun Asapovo.

Tak ada bedanya aku dan garuda

banyak sarang laba-laba

pujangga akhirnya memilih mati di Ambarawa

basah dengan tanah

dengan luka dan kecewa

tanpa desing pelor dan bom detektor

Maafkan aku yang tak berani –

memeluk bulan di balik burqa

karena memilih menjadi tinta

putih dalam canting dan mori.

(2020)

--

--