Untuk Mona kucing kami, yang mungkin tidur telentang di sebuah jembatan dan taman bunga.
Ini Mona. Tidur telentang seperti pemabuk di bangku stasiun. Ia kucing tertua di rumah kami. Sudah ada di keluarga kami hampir 10 tahun. Tadi malam Mona mati. Darah keluar dari mulut dan hidungnya. Ia dilindas mobil di jalan depan rumah kami.
Kematian Mona rasanya seperti kehilangan potongan kecil bagian keluarga kami. Ia diberi akses bebas keluar-masuk rumah dan bebas tidur di mana pun dia suka. Untuk seekor kucing yang biasa berak di toilet dan tidak doyan makan ayam — kematian macam ini terlalu mengenaskan untuk Mona.
Saya yang menguburkan Mona. Seperti juga saya yang meminta Mona dulu dirawat, setelah ada yang membuangnya saat masih bayi di pekarangan rumah.
Tidak, saya tidak menangis. Mona banyak menghasilkan kenangan yang baik dan tak terlupakan bagi keluarga kami. Ibu tentu menangis, Adik saya juga menangis, Bapak berkaca-kaca menahan tangis, tidak, saya tidak menangis. Saya marah — sangat marah hingga tak mampu berkata-kata dan mengeluarkan air mata.
Malam itu selepas isya, saya sedang membaca buku di ruang baca. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak dan tetangga saya berteriak. “Ada kucing ketabrak! Ada kucing ketabrak!”. Tentu saya tak menyangka itu Mona. Biasanya saat malam ia akan tiduran di bangku depan teras. Bukan kebiasaan Mona bermain di sekitar area jalan depan rumah malam-malam begini. Maka saya tak langsung keluar rumah.
“Ini kucingnya mamah (nama adik saya) kelindes!” sebut sebuah suara. “Iya ini si Mona kelindes, Ya Allah!” teriak suara lain yang kali ini saya kenal merupakan suara tetangga saya. Ibu berlari ke arah jalan. Bapak berjalan pelan menuju kerumunan. Saya ikut beranjak menuju sesuatu yang saya harap tak melihatnya. “Jangan, jangan Mona, please!” terus berulang terucap di hati saya.
Tubuhnya menegang kejang. Sebagian isi perutnya keluar di ujung mulutnya. Darah segar mengalir dari mulut dan hidung. Posisinya tertidur menyamping. Bulu di badannya masih sangat bersih. Badannya berat menghela nafas dengan tersengal-sengal. Ketika saya menyentuh pelan perutnya, ia tak bergerak lagi. Mona mati, dengan genangan darah menggumpal di sandal dan tangan saya.
Mobil yang melindas Mona tak sedikit pun berhenti untuk sekadar melongok. Di area jalan desa — gerombolan anak-anak menyebut mobil tersebut melaju begitu kencang. “Iya mobilnya kenceng banget bawanya. Padahal banyak kita (anak-anak) lagi pada jajan,” sahut beberapa bocah. Kakek, yang kediamannya hanya selemparan tombak dari rumah saya, tiba-tiba ikut menerobos kerumunan.
Ia berkata keras, “biarin, kualat itu yang lindes (melindas)! Ini kan kucing, peliharaan Nabi, nggak ada hati sama sekali buat berhenti”. Tentu saya tak ingin seseorang kualat atau celaka hanya karena seekor kucing. Namun saya tak bisa berbohong atas kemarahan di dada saya. Begitu teganya manusia untuk sekadar bertanggungjawab atas perbuatannya. Diam-diam saya mengaminkan ucapan Kakek.
Beberapa bocah terisak ketika Mona akan saya kuburkan. Ibu berlari ke dalam rumah mengambil kain putih. Itu kain yang ia pakai ketika umroh bersama nenek tahun lalu. Bapak membungkus Mona, sambil menyebut pelan namanya. Orang-orang dekat keluarga kami pasti mengenal Mona.
Tetangga kami kenal Mona. Teman dekat saya kenal Mona. Mereka semua kehilangan. Mona adalah ikon rumah kami, kematiannya menandakan kekosongan satu tempat di keluarga kami. Agak ironis sekaligus lucu, banyak sekali orang yang ikut saya menguburkan Mona. Kakek, Nenek, anak-anak yang mengenal Mona, tetangga saya, Pak RT yang rumahnya dekat kejadian, hingga Pak Ustadz dari pesantren depan rumah ikut menguburkannya.
“Saya sedih juga ini, dia biasa main ke sini (pesantren),” ucap Pak Ustadz ke Ayah saya pelan. Sebelum diletakan ke liang kubur, Pak Ustadz membaca semacam doa khusus untuk Mona yang tak kami dengar. Ia mengelus pelan leher Mona. Gigi saya mengatup keras melihat adegan tersebut. Saya memalingkan wajah.
Ayah saya meletakkan Mona ke dalam lubang yang telah saya gali. Akhirnya, dalam malam yang berangin itu — Mona menyatu dengan tanah. Setiap secangkul tanah yang saya hempaskan ke atas tubuhnya, menyatu dengan gumpalan kenangan yang seakaan memudar perlahan. Perasaan haru, marah dan mengenaskan bercampur baur tiap kali tanah itu menggunung dan akhirnya menutupi tubuh Mona. Bau tanah basah dan darah segar begitu sengit di penciuman.
Saya selalu berpikir pada akhirnya memang Mona akan mati dan meninggalkan keluarga kami. Namun tak pernah terpikir caranya begitu tragis dan menyakitkan. Bagi saya, tanggungjawab adalah salah satu bentuk nyata yang menandakan bahwa kita masih seorang manusia. Siapa pun yang melindas Mona tadi malam, saya harap ia masih dapat memelihara kemanusiaannya di sisa hidupnya.
Setelah tenang, saya tak lagi berharap sekutil kualat pun menimpa orang tersebut — saya hanya berharap semoga ia masih merasakan penyesalan atas tindakannya. Apa yang lebih mengenaskan dari manusia yang telah kehilangan enyuh nuraninya?
Kalau tak salah dari cerita rakyat di Jepang, yang mengatakan bahwa peliharaan mati akan menunggu tuannya di sebuah jembatan yang dikelilingi taman bunga. Tentu itu bukan di dunia ini, tapi di kehidupan setelahnya. Di jembatan itu — ia akan setia menunggu dan berjumpa kembali dengan tuannya yang akhirnya juga telah meninggal dunia. Saya membayangkan scene itu — kejadian di mana keluarga kecil kami berkumpul kembali bersama Mona. Di jembatan yang mungkin terbuat dari kayu dan sedikit melengkung itu — saya bayangkan Mona tertidur telentang, seperti kebiasaannya di rumah kami dulu.
Saat momen itu tiba, saya berjanji akan membiarkan Mona mengelus-elus kepalanya ke layar laptop saya sesukanya. Saya berjanji akan membiarkannya mengendus-endus kopi saya. Kali ini saya berjanji tak ada interupsi dari saya yang mengusir kejahilannya. Kali ini Mona bebas melakukan apa pun yang ia suka. Kali ini saya menangis — membayangkannya.